Pendidikan Kejuruan dan Perselingkuhan Stakeholder

Oleh A Halim Fathani Yahya

Akhir-akhir ini pendidikan kejuruan menarik menjadi perbincangan bagi masyarakat, terutama orangtua yang memiliki anak baru lulus ujian nasional tingkat SMP/MTs. Didasari oleh semakin meningkatnya angka pengangguran terdidik, menyebabkan orangtua yang berpikir untuk menyekolahkan anaknya di sekolah kejuruan. Hal ini dapat dilihat berdasar proyeksi Institute for Development Economics and Finance (Indef), tingkat pengangguran dan kemiskinan pada 2009 akan mencapai 9,5% dan 16,3%. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Februari 2008 tingkat pengangguran terbuka mencapai 8,46%,atau 9,43 juta orang. Angka itu turun 1,29% (1,12 juta orang ) dibanding Februari 2007, 9,75% (10,55 juta orang).(Depsos, 2009).

Tingginya animo masyarakat terhadap pendidikan kejuruan ini ditunjukkan dengan naiknya pendaftar setiap tahun. Pada tahun 2008, perbandingan antara pendaftar SMK dan pendaftar SMA di Jawa Timur adalah 48 persen dibanding 52 persen, tetapi sekarang pada tahun 2009 sudah berubah dengan komposisi 55 persen berbanding 45 persen. Pada tahun 2012 ditargetkan jumlah pendaftar SMK mencapai 60 persen (Kompas, 13/07/09).

Banyaknya minat masyarakat menyekolahkan anaknya ke pendidikan kejuruan ini direspon positif oleh pemerintah. Terbukti, pada tahun 2003, jumlah SMK negeri dan swasta di Jatim hanya 700 sekolah, tetapi saat ini jumlah SMK mencapai 1.200 unit yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jatim. Selain itu, untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas, telah didirikan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sebanyak 30 unit. Salah satu standar penyelenggaraan RSBI untuk SMK adalah banyak kegiatan praktik selain penyampaian teori di kelas.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan model pendidikan sistem ganda (PSG). Program ini merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik antara kurikulum pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui praktik langsung dalam dunia kerja. Melalui, PSG ini berarti siswa belajar di dua tempat, di sekolah dan industri. Di sekolah, mereka belajar teori dari para guru, sedangkan di industri, mereka belajar dan mendapat pelatihan praktik kerja dari para instruktur. Agar hal ini dapat berjalan efektif, maka program-program pendidikan dan pelatihan harus dirancang bersama, antara pihak sekolah dan pihak industri.

Nampaknya, terkait dengan penyelenggaraan praktik kerja di industri ini masih belum mendapat perhatian yang serius bagi pengelola pendidikan kejuruan. Masih banyak dijumpai ketika siswa melaksanakan praktik kerja, banyak yang tidak nyambung dengan keahlian yang dimiliki (baca: dipilih). Sebagian besar, para siswa tidak mendapat pekerjaan yang “layak” di tempat praktiknya. Tentu hal ini tidak akan ditemukan, apabila pihak SMK memiliki jaringan kerjasama (network) yang luas dengan pihak indutsri.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan seringnya terjadi ketidakcocokan antara keahlian siswa dengan tempat praktik kerjanya, yaitu: 1) tidak ada komunikasi yang efektif antara pihak sekolah dengan industri; 2) kurikulum hanya disusun secara sepihak, akibatnya pihak sekolah tidak tahu kemampuan riil yang dibutuhkan di industri, sementara pihak industri tidak dapat menerima siswa yang berkerja sesuai dengan kualifikasi indutri tersebut; 3) jaringan kerjasama pihak sekolah dan industri masih minim; dan 4) beberapa industri besar telah menggunakan mesin/program komputer sebagai tenaga kerjanya, sehingga tenaga manusia jarang dipakai.

Kita tahu, saat ini banyak industri yang membuat ketentuan baru dalam penerimaan karyawan barunya, yakni setiap karyawan harus mengikuti training selama 2-3 bulan. Hal ini disebabkan, susahnya mencari tenaga kerja yang benar-benar memiliki kualifikasi sesuai keinginan (baca: standar) industri. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, maka –lamban tapi pasti- dikuatirkan “harga diri” pendidikan kejuruan akan jatuh dan terus merosot.

Hemat saya, agar antara pihak sekolah dan industri tidak terjadi “perselingkuhan”, maka harus dilakukan komunikasi yang efektif. Dalam hal ini, misalnya industri bidang perekonomian bisa bekerjasama dengan SMK yang memiliki program keahlian manajemen bisnis dan akuntansi, industri tekonologi komputer dan informasi bisa bekerjasama dengan SMK yang memiliki program keahlian multimedia, rekayasa perangkat lunak, perusahaan bidang perhotelan dan pariwisata bekerjasama dengan SMK yang memiliki program keahlian perhotelan, dan sebagainya. Jika hal ini dapat berjalan efektif, maka pihak SMK bisa melakukan semacam outsourcing yang dikerjakan oleh industri dalam bentuk penyediaan alat, instruktur, dan pengalaman praktik di dunia kerja. Sedangkan, industri melihat sekolah sebagai bagian dari HRD (human resources development) industrinya dalam rangka mempersiapkan tenaga-tenaga terampil. Dengan demikian, “kepentingan” kedua belah pihak dapat terpenuhi.

Kiranya, pendidikan kejuruan yang sering didengung-dengungkan oleh pemerintah akhir-akhir ini, akan dapat menjawab pelbagai permasalahan bangsa yang terkait dengan angka pengangguran, jika program sekolah dan industri masing-masing dapat bersinergi. Oleh karenanya, komunikasi kedua pihak merupakan keniscayaan untuk mewujudkan pendidikan kejuruan yang unggul. Di sisi lain, karena Jurang antara jumlah tenaga kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia saat ini semakin lebar, maka satu hal yang penting diperhatikan adalah pendidikan kejuruan diharapkan dapat membentuk mental entrepreneur, selain menyediakan tenaga-tenaga ahli di bidangnya. [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *