Oleh A Halim Fathani
Selama ini, perekonomian bangsa hanya “diserahkan” pada sekelompok orang sehingga membuat perekonomian gampang ambruk. Hal ini sama dengan “menyerahkan nasib” bangsa pada sekelompok orang. Ketergantungan seperti ini akan menempatkan mereka pada posisi ‘dewa penolong’. Kalau dewa tersebut lagi baik nasibnya, maka selamatlah bangsa ini. Tapi, ketika nasibnya buruk, rusaklah nasib bangsa. Ini berbeda kalau perekonomian ditopang oleh banyak pilar. Kalau terjadi kebangkrutan pada beberapa pengusaha, masih banyak yang akan menggerakkan kehidupan perekonomian.
Di lain pihak, mereka adalah kelompok orang yang sangat patut diragukan rasa kebangsaannya. Buktinya, seperti dilansir beberapa media masa, para konglomerat jahat tersebut beramai-ramai melarikan uangnya ke luar negeri begitu negara ini mengalami krisis (ingat peristiwa 1998). Di sisi lain, pendidikan kita selama ini hanya berorientasi pada meluluskan generasi muda yang ‘siap pakai’, dalam arti mempersiapkan tenaga-tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan segelintir pengusaha di atas, selain untuk menjadi pegawai negeri. Ini berarti sebagian besar anak bangsa ini telah disiapkan untuk menjadi buruh, baik buruh swasta maupun buruh negara bahkan banyak yang berprofesi sebagai pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006, pengangguran terbuka mencapai 11.104.693 orang. Penganguran yang tidak lulus atau lulus SD mencapai 3.524.884 orang, SMP sebanyak 2.860.007 orang, SMA sebanyak 4.047.016 orang, akademi/diploma 297.185 orang, dan universitas 375.601 orang. (Kompas, 24/10). Melihat fakta di atas, maka tak mengherankan kalau tugas pendidikan hanyalah sekadar menyiapkan “robot-robot hidup yang terampil”. Yang kelak akan dipakai untuk melayani mesin-mesin industri. Untuk kebutuhan ini, perguruan tinggi tidak terlalu dituntut untuk mendorong keberanian dan kreativitas anak didik. Perguruan tinggi cukup hanya mencetak individu manusia terampil, meski kurang kreatif, penurut alias tidak banyak tuntutan, tak peduli lingkungan sekitar, tidak memiliki kemandirian alias bergantung pada perintah, dan watak-watak lain yang serupa.
Dari kesadaran untuk memperbanyak pilar-pilar perekonomian bangsa, maka di tengah masyarakat timbul dinamika pemikiran baru. Pandangan baru ini menyatakan: pendidikan juga harus bertanggung jawab mendorong lahirnya entrepreneur-enterpreneur baru. Tuntutan ini, langsung atau tidak, akan mengubah wajah dan tampilan pendidikan di Indonesia. Secara global, pendidikan dituntut untuk melahirkan individu-individu yang memiliki kreativitas, berani, dan mampu belajar sepanjang hayat. Dan materi kewirausahaan merupakan salah satu ikhtiar untuk menjawab hal ini. Kewirausahaan atau entrepreneurship perlu dipelajari generasi muda secara serius untuk membangun Indonesia sejahtera di masa depan.
Dengan tumbuhnya jiwa wirausaha pada generasi muda, mereka tidak lagi terfokus menjadi generasi pencari kerja semata yang justru menghasilkan banyak pengangguran terdidik. Pendidikan kewirausahaan memberi bekal agar generasi muda menjadi kreatif melihat peluang berusaha dari kondisi-kondisi yang ada serta menemukan cara untuk bisa memasarkan dan mengembangkan peluang usaha.
Melihat kebutuhan bangsa yang cukup besar akibat sedikitnya jumlah entrepreneur atau pengusaha yang ada, pendidikan kewirausahaan perlu dikembangkan di sekolah hingga perguruan tinggi. Namun pendidikan kewirausahaan tidak hanya ditekankan pada orientasi bisnis ansich, melainkan harus lebih ditekankan pada pembentukan jiwa dan karakter wirausaha. Implikasinya, generasi muda bangsa Indonesia akan memiliki jiwa wirausaha yang matang sehingga dapat diterapkan dalam pelbagai bidang sesuai dengan profesionalisme masing-masing.
Menurut Ciputra, Bangsa Indonesia perlu melakukan lompatan kuantum untuk menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Dengan demikian, di Indonesia akan lahir generasi pencipta kerja, bukan pencari kerja, sehingga kemakmuran Indonesia yang kaya-raya dengan sumber daya alamnya bisa terwujud. Kewirausahaan bukan cuma untuk dunia bisnis. Berbagai lapangan kerja lain yang memiliki semangat, pola pikir, dan karakter entrepreneur akan membuat perbedaan, perubahan, dan pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaan mereka di luar bidang bisnis.
Mengutip pendapat sosiolog David Mc Celland, Ciputra mengatakan, suatu negara bisa menjadi makmur bila memiliki sedikitnya dua persen entrepreneur dari jumlah penduduk tersebut. Dari data statistik, Indonesia diperkirakan baru memiliki 400.000 wiraswastawan atau 0,18 persen dari penduduk Indonesia. “Yang paling siap dan paling mudah untuk dididik dan dilatih kecakapan wirausaha adalah mereka yang berada di bangku sekolah. Bayangkan Indonesia memiliki sebagian besar generasi muda dengan pola pikir, karakter, dan kecakapan entrepreneur”. (Kompas, 24/10). Pendidikan kewirausahaan sudah seyogyanya menjadi perhatian banyak kalangan, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat umum.