Oleh A Halim Fathani Yahya
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama dan status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam kehidupan berbangsa. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, Maluku, konflik antara FPI dan kelompok Ahmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Saat ini, jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI sekitar 13.000 pulau. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan. (Shihab, 1998:40).
Namun persoalannya, dalam konteks sekarang ini, ketika Indonesia sudah berusia 63 tahun dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks, lalu pendidikan yang bagaimanakah yang semestinya dikembangkan untuk “mencerdaskan” kehidupan masyaraka? Pelbagai pertanyaan dan kegelisahan semacam itulah yang menghantui benak pikiran seluruh masyarakat Indonesia. Hingga genap sudah seratus kebangkitan nasional bangsa ini, namun persoalan semacam ini belum dapat terselesaikan.
Jika kita “membaca” sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan terjadinya konflik sosial pasca-kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari kesatuan wilayah negara Indonesia. Tanpa peran pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Pola penyelesaian konflik secara parsial, seperti lewat pendekatan keamanan, tidak akan mampu menghentikan konflik secara tuntas (hlm. 192). Oleh karenanya, pendidikan multikultural harus dilihat sebagai bagian positif dari usaha komprehensif, menghindari, mencegah, dan menanggulangi konflik etnis dan agama (Ali, 2003:100). Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan bangsa yang majemuk, maka pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara baik dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Buku ini menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar pada setiap manusia. Sebagai makhluk unik yang berbeda antara satu dengan lainnya, kebutuhan terhadap pendidikan pun tidak sama. Masing-masing individu memiliki tingkat ketertarikan tertentu terhadap bidang keilmuan dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan tidak menjurus kepada penyeragaman. Sebab, keseragaman akan mengakibatkan terbonsainya potensi masing-masing anak didik. Keseragaman juga menyebabkan tidak tumbuhnya sikap menghargai terhadap setiap perbedaan yang ada. (hlm. 40).
Pendidikan multikultural bertujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, agama, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu setiap siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Visi pendekatan multikultural ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang-undang dan sistem pendidikan nasional tahun 2003 pasal 4 ayat 1, yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan.
Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagai “golongan” dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-masing. Siswa dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untuk mengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya. Hadirnya buku ini, diharapkan memberikan kontribusi konkret ke arah terbentuknya kesadaran pluralis-multikultural dalam kerangka yang lebih luas serta menjadi solusi bagi permasalahan bangsa yang multidimensi. Semoga!
Identitas Buku
Judul Buku : Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi
Penulis : Ngainun Naim & Achmad Sauqi
Penerbit : Ar-Ruzz Media, Jogjakarta
Cetakan : I, Juni 2008
Tebal : 248 halaman