Oleh Abdul Halim Fathani
Setiap agama di dunia ini mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik untuk mencapai kecerdasan spiritual atau aktualisasi diri. Seringkali kita justru menganggap ritual atau ibadah sebagai tujuan bukan sebagai cara. Kita melakukan ibadah sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan, karena jika tidak, kita takut akan menerima hukuman dari Tuhan (azab dan neraka), dan jika dilakukan kita akan menerima pahala dan surga.
Menjalankan ibadah agama dengan motivasi karena ketakutan (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual yang paling bawah, dilanjutkan dengan motivasi karena hadiah (reward motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan ketiga adalah motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan ibadah agama kita (internal motivation), dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika kita menjalankan ibadah agama karena kita mengetahui keberadaan diri kita sebagai makhluk spiritual dan kebutuhan kita untuk menyatu dengan Sang Pencipta berdasarkan cinta (love motivation).
Jika merujuk pada agama, pada awal penciptaan manusia, Tuhan meniupkan roh atau napas kehidupan kepada manusia. Berarti roh kita adalah sesuatu yang membuat kita hidup. Jadi Roh kita bersumber pada sumber yang sama, yaitu Tuhan yang Mahakuasa. Kita nantinya juga akan kembali menyatu dengan Sang Pemberi Kehidupan. Jadi apapun agama kita, status sosial ekonomi, suku, ras, golongan, kebangsaan dan tingkat pendidikan kita, tidaklah menjadi yang utama. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi.
Maslow mendefinisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan spiritualitas seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas, dan misi untuk membantu orang lain mencapai tahap kecerdasan spiritual. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah peak experience, plateau – the farthest reaches of human nature. Pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia, going beyond humanness, identity, self-actualization, and the like.”
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami individu secara holistik sebagai makhluk Tuhan maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita akan dapat memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.
Buku ini ditulis untuk memperkaya spiritualitas kita dan untuk berbagi tentang makna dan hakikat kehidupan serta bagaimana kita dapat meningkatkan kecerdasan spiritual kita tanpa harus membedakan apa agama kita karena spiritualitas tidak sama dengan agama walaupun keduanya saling menunjang. Bahkan dalam Bahasa Jawa, agama diartikan sebagai ”ageman” atau pakaian yang kita pakai. Apapun agama kita, yang terutama justru siapa roh kita sebenarnya. Buku ini mendeskripsikan perubahan akhlak dan sikap dari banyak orang yang berimplikasi mengubah hidup dan nasib manusia menjadi lebih baik, indah, dan bermakna. Priatno tidak menjelaskan sebuah teori atau konsep, melainkan mengungkapkan pengalaman-pengalaman nyata dan teknik-teknik yang teruji dari apa yang dinamakan sebagai “pola pikir dan pola sikap berbasis spiritual”. Spiritual Thinking (ST) merupakan metode yang dijadikan sarana untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik, yaitu kehidupan menuju jalan Allah yang indah dan cerah.
Untuk mengurai penjelasannya mengenai pola pikir dan pola sikap berbasis spiritual,, penulis buku ini membagi dalam lima bagian. Pertama, membahas bahwa dalam menjalani kehidupannya, hanya Allahlah orientasi dan tujuan yang hakiki. Manusia hakikatnya merupakan hamba yang harus selalu menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Untuk membuktikan cintanya kepada Tuhan, manusia harus benar-benar tulus ikhlas untuk menyerahkan diri, melepaskan segala sesuatu yang paling disayangi. Semuanya diserahkan kepada Allah sebagai pemilik tunggal alam semesta. Ini adalah tahapan tertinggi dalam perjalanan spiritualitas seseorang, yaitu ketika dia sudah tidak punya rasa kuatir akan apa yang akan terjadi. Dia memiliki rasa pasrah secara total kepada Tuhan, karena sebagai makhluk spiritual, dia telah mencapai penyatuan dengan sang Pencipta. Kedua, untuk mencapai derajat hamba yang mulia di sisi-Nya, manusia senantiasa harus mengisi dan memaknai perjalanan hidupnya agar menjadi (lebih) baik. Bekerja misalnya, merupakan ekspresi cintanya kepada Allah. Ketiga, mengupas tentang bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan yang damai, bahagia, dan penuh makna. Manusia harus dapat mengatasi egoisme dan nafsu duniawi. Manusia seyogyanya dapat me-manaj kehidupan yang seimbang antara duniawi dan ukhrawi. Keempat, merupakan kiat-kiat untuk melakukan pelbagai ikhtiar menuju pribadi yang unggul di hadapan Tuhan. Sedangkan bagian kelima, penulis menjelaskan bagaimana kiat untuk menjalani kehidupan yang positif dan produktif.
Buku ini mengajak para pembaca untuk menapaki kehidupan yang damai, bahagia, sejahtera, dan penuh makna. Selain memberikan alternatif nilai yang kokoh dan menenangkan, buku ini juga menawarkan terapi, latihan, dan solusi yang mudah dicoba dan dipraktikan. Menggabungkan unsur iman dan spiritual yang berpijak paa ajaran Islam yang komprehensif serta dilengkapi dengan metode Neuro Linguistic Programming (NLP), zen, reiki, yoga, dan lain-lain. Tauhid Nur Azhar (dalam pengantarnya) mengatakan bahwa konsep Spiritual Thinking (ST) yang diusung buku ini layak dijadikan salah satu kurikulum inti di School of Business Management, agar Indonesia kelak dapat memiliki lapisan yang cerdas, peka, dan berorientasi dunia-akhirat.[]
Identitas Buku
Judul Buku: Spiritual Thinking; Sukses dengan Neuro Lingusitic Programming (NLP) dan Tasawuf
Penulis : Priatno H. Martokoesoemo
Penerbit : Mizania, Bandung
Cetakan : I, September 2007
Tebal : 258 Halaman