Bila Guru Disertifikasi

Oleh A Halim Fathani Yahya

Menurut Malik Fadjar (2004), pendidikan merupakan human investment, yakni menginvestasikan pendidikan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan demikian, sudah selayaknya pendidikan itu dibina oleh guru-guru yang mumpuni dalam bidang keahliannya masing-masing. Pendidikan harus diselenggarakan secara profesional meliputi semua aspek yang terkandung di dalamnya baik itu guru, siswa, fasiltas pembelajaran, dan lainnya. Pendidikan harus dapat melahirkan generasi anak bangsa yang handal dan memiliki sumber daya saing yang tinggi. Pada dasarnya hakekat pendidikan adalah sepanjang hayat (long life education) sehingga pemerintah harus selalu dapat mendorong dan membantu para guru untuk terus meningkatkan kualifikasi pendidikannya. Hal ini –salah satunya– dapat ditempuh dengan menyelenggarakan sertifikasi guru.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengamanatkan bahwa –salah satunya– guru wajib memenuhi kualifikasi pendidikan S1 atau minimal D4 dan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan profesi guru (36 satuan kredit semester/sks). Sertifikasi ini berlaku untuk semua calon guru atau guru. Guru akan diposisikan sebagai suatu profesi sebagaimana halnya dokter akuntan, psikolog, dan pengacara. Tujuan dijadikannya guru sebagai suatu profesi adalah sebagai bagian dari Ikhtiar pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru serta dapat mengangkat harkat, citra, dan wibawa seorang guru.

Persoalan selanjutnya, apakah dengan adanya program sertifikasi guru ini, secara otomatis kualitas guru dapat benar-benar meningkat atau tujuan ­–sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang–Undang– benar-benar dapat tercapai? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kaji dulu, mengapa penghargaan terhadap guru saat ini belum sebanding dengan beberapa profesi “terpandang” lainnya. Pertama, kebanyakan guru belum memenuhi persyaratan kualifikasi minimal untuk mengajar, baik dari segi ilmu maupun keterampilannya. Sebab, berdasarkan kompetensinya, data tahun 2001 memberi gambaran bahwa secara keseluruhan lebih dari 50 persen guru dianggap kurang memenuhi kualifikasi mengajar.

Kedua, penghasilan guru yang sangat kurang “manusiawi” apabila dibandingkan dengan penghasilan profesi lain sehingga membuat profesi keguruan tidak banyak diminati. Dengan demikian, sangat sering guru tidak lebih dari sebuah pekerjaan yang “terpaksa” dilakukan, ketika orang sudah tidak mampu menemukan pekerjaan lain yang “lebih baik”.

Ketiga, banyak guru tidak memiliki karakter baik yang diinginkan masyarakat. Seorang guru berbeda dengan profesi dokter, akuntan, dan pengacara, yang tentunya banyak bekerja dengan mengandalkan keterampilan berelasi. Guru banyak dituntut untuk bekerja dalam suatu tim work, berinteraksi secara intensif setiap hari dengan siswa, dan berkomunikasi dengan orangtua siswa. Sedikit cacat dalam karakter akan langsung terlihat dan berdampak negatif pada citra yang bersangkutan.

Keempat, rendahnya penghargaan terhadap guru, karena dibanding profesi lain, pekerjaan yang diemban guru dianggap kurang membutuhkan keterampilan yang sangat khusus dan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menjadi profesional. Apabila kebutuhan pengajar matematika sebuah sekolah cukup mendesak, mahasiswa S-1 tingkat akhir fakultas MIPA yang melamar untuk mengajar di sekolah tersebut mungkin langsung diizinkan untuk memegang mata pelajaran Matematika. Hal demikian sangatlah berbeda dengan dokter yang memerlukan waktu panjang untuk memperoleh keterampilannya melalui praktik dan proses magang dengan supervisi yang ketat (Kompas, 13/12/04).

Jika program sertifikasi profesi guru nantinya dapat secara langsung menjawab persoalan yang membuat citra guru merosot, niscaya guru akan menjadi sebuah profesi yang menarik dan banyak dikejar masyarakat. Selain itu, dengan program sertifikasi ini, secara tidak langsung akan menghapus stigma yang berkembang di masyarakat bahwa menjadi guru itu “mudah”. Tetapi, sekarang (jika UU ini “benar-benar” dipraktekkan secara “benar”), untuk dapat menjadi guru harus melalui beberapa tahapan-tahapan, untuk memperoleh pengakuan legal dan resmi dalam mengajar (dan mendidik), yang dibuktikan dengan sertifikat. Dengan demikian profesi guru bukan lagi profesi “murahan”, tetapi guru merupakan sebuah profesi yang benar-benar membutuhkan kemampuan profesional yang tinggi dan hanya dapat dimasuki bagi orang yang benar-benar memenuhi kualifikasi.

Pada hakekatnya dengan program sertifikasi ini, profesi guru dapat benar-benar profesional, mengangkat martabat guru, meningkatkan wibawa dan citra guru. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa “jurus sertifikasi” ini bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai semua tujuan di atas. Sertifikasi seharusnya tidak dipandang sebagai satu-satunya solusi untuk meningkatkan kualitas guru. Pemerintah jangan hanya memikirkan agar guru dapat disertifikasi (secara tertulis saja) dan dipaksa menjadi baik. Tetapi, di lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensinya, maka sulit untuk mengharapkan terjadinya perubahan (baca: peningkatan kualitas). Yang paling penting bagaimana membangun mental guru sehingga tugas guru tidak hanya menyampaikan materi (transfer of knowledge), melainkan juga mendidik, membina atau dengan kata lain dapat memanusiakan manusia.

Seyogyanya pemerintah tidak menyeragamkan pensertifikasian para guru, melainkan dapat membuat berbagai alternatif , karena kondisi setiap individu guru jelas berbeda antara satu dengan lainnya. Misalnya, guru yang telah berkualifikasi D-4 atau S-1 dan telah memiliki akta mengajar IV, maka cukup dilakukan penilaian melalui portofolionya. Dengan kata lain dapat dilakukan akreditasi kinerja dan dilihat kemampuan mereka membuat persiapan mengajar sampai melakukan evaluasi pembelajaran. Mereka tidak perlu lagi ikut pendidikan profesi atau uji sertifikasi. Yang memiliki akta mengajar IV cukup diuji kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik, karena mereka sudah mendalami mata kuliah dasar keguruan meliputi pengembangan kurikulum, teori belajar dan pembelajaran, psikologi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, evaluasi pembelajar, dan lainnya.

Bagi mereka yang sudah berpengalaman lama mengajar, bahkan sampai puluhan tahun,—misalnya hanya lulusan SPG, SGO, PGA atau D1—juga cukup dinilai portofolio kinerjanya selama ini, kemudian diberikan sertifikat pendidik, terutama mereka yang sudah berusia mendekati pensiun. Jangan mereka ditahan-tahan (dipaksa untuk mengikuti uji sertifikasi) sehingga tidak mendapatkan sertifikat pendidik (karena saking lamanya untuk antre menunggu giliran). Lalu, ujung-ujungnya tidak mendapat tunjangan profesi padahal sudah lama mengabdi dan telah terbukti menghasilkan lulusan yang telah berjasa dan mengabdi bagi negara tercinta ini..

Jika jasa dan kompetensi mereka (baca: guru yang telah lama bekerja) tidak diakui atau tetap diperlakukan seperti guru “muda” lainnya, yakni dengan melakukan uji sertifikasi, maka sulit sekali bagi negara untuk mempertanggungjawabkannya secara politis. Jika kemampuan mereka tidak diakui oleh negara, maka masyarakat akan segera dapat menyimpulkan bahwa selama ini anak bangsa kita diajar oleh orang-orang yang dianggap tidak kompeten. Tetapi, satu hal yang perlu diingat adalah hendaknya jangan dijadikan “proyek” sertifikasi ini hanya dapat berjalan secara formal belaka. Artinya, pemerintah dapat melakukan sertifikasi guru dalam jumlah besar, namun kualitasnya tetap saja seperti tidak diuji sertifikasi. Uji sertifikasi hendaknya tetap memadukan antara kondisi realita kemampuan/pengalaman guru selama mengajar dan juga memperhatikan hasil uji sertifikasinya. Keputusan yang diambil untuk memberikan sertifikat pendidik, harus dipandang secara utuh, jernih, dan obyektif.[ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *